Sunday, November 9, 2014

Pasangan yang Pas



Menurut saya pasangan yang pas itu seperti Hujan dan Bandung, seperti Senja dan Yogyakarta, seperti Jakarta dan Citylightsnya. Bukan tentang seimbang atau saling, tetapi kecocokan. Seperti enzim dan substartnya, seperti sperma dan ovum, seperti reaksi fusi. Itulah mengapa pasangan yang terlibat kasus KDRT tidak bercerai, itulah mengapa kebiasaan buruk kadang sulit ditanggalkan. Karena masih terasa pas. 
Belakangan saya gemar membaca postingan @humansofny di instagram. Suatu waktu seorang wanita berkata bahwa ia mungkin tidak akan menemukan "the one". Bahwa suaminya memang mungkin bukan "the one". Bahwa mungkin suaminya berpendapat yang sama tentangnya. Mereka tidak bahagia? Belum tentu.

Lain lagi perempuan lain berkisah bagaimana ia menemukan "the one" yang menjadi suaminya. Ia menikah di usia 40an. Ia telah melalui fase jatuh cinta-patah hati-jatuh cinta-patah hati. Siklus tersebut membuat ia lelah untuk mencari. Ia berhenti pergi ke club. Berhenti mengikuti blind date. Ia memilih menikmati hidupnya dengan bergabung dengan komunitas olahraga. Suatu hari ia sedang jogging rutin bersama temanya. Seorang laki-laki hendak memarkirkan sepedanya. Ia mengenakan kaos donasi darah ber-caption "Are you my type?". Teman perempuan tersebut berkata " Kamu pasti tidak akan berani menyambangi laki-laki tersebut". Kemudian perempuan tersebut mendatangi laki-laki dan berkata "Yes, I am". Kemudian laki-laki tersebut menjadi suaminya sekarang.

Saya sendiri melihat bahwa kasus yang pertama bukan kesalahan perempuan maupun laki-laki. Pasangan yang bersama belum tentu ternyata terasa pas. Pasangan yang berpisah mungkin mengejar rasa pas yang tidak didapatkan di partnernya. Akan tetapi lebih baik jika belum menemukan yang pas jangan mengikat dalam janji suci, upacara sakral Pernikahan.

Perceraian, terlebih jika telah memiliki anak, akan berdampak juga ke Anak. Perasaan takut, benci, dan muak pasti pernah dirasakan. Perasaan "jahat" ini jika membekas akan terus terbawa dalam hidup sang Anak. Menerima kondisi tersebut juga butuh proses dari sang Anak. Orang Tua adalah panutan pertama dan utama dari Anak. Jika Anak dikecewakan oleh Orang Tua kemanakah ia harus berpegang? 

Tidak sedikit anak-anak broken home mengambil jalan yang salah. Akan tetapi jika belajar menerima dan mencoba memahami, perceraian bukan dosa dan juga bukan kesalahan. Perceraian hanya jalan keluar dari proses pencarian yang pas disaat yang sudah tidak tepat. 

Maka teruslah mencari kecocokan tersebut. Sebelum berikrar, pastikan sudah pas!