Sesengukan. Malam itu ia menangis sendiri di kamarnya.
Menangis tanpa memperdulikan untuk melegakan hatinya. Sudah lama ia tak
menangis. Bukan berarti sudah lama ia tak sedih atau terluka. Akan tetapi gadis
itu tumbuh menguatkan dirinya. Semakin berusaha ia menguatkan diri, semakin
jarang air mata membasahi wajahnya.
Setiap hari ia memasang senyum itu. Senyum ikhlas, bahagia.
“Iya” selalu terucap saat orang lain meminta bantuan. Bukan karena ia mau
diperalat. Karena ia memposisikan dirinya pada orang yang meinta bantuan.
Selama ia bisa. Ia akan lakukan. Naif, memang. Akan tetapi ia hanya ingin
berarti buat orang lain. Orang lain, ah, gadis itu memang terlewat sering
mendahulukan orang lain. Akan kuceritakan kisah tentang gadis ini. Kupikir ini
akan sedikit menyedihkan.
Ia tumbuh di keluarga yang sederhana. Tidak sederhana tetapi
juga tidak kaya. Iya tidak masalah dengan itu. Ia tidak mengeluh harus pulang
menggunakan bus disaat teman-temanya di jemput. Ia tidak keberatan basah kuyup
disaat teman-temanya naik mobil. Ia tidak masalah tidak menggunakan barang
branded atau pun yang sedang “in”. Bukan, ini bukan soal materil.
Tumbuhlah ia menjadi seorang gadis remaja. Gadis remaja yang
mulai sibuk dengan teman dan kegiatanya. Akan tetapi disaat gadis seusianya mulai
percaya cinta. Ia melihat realita cinta yang lain. Ia melihat bagaimana manusia
yang hidup bertahun-tahun atas nama cinta bisa berkhianat. Dengan sahabat
pasanganya. Kemudian ia melihat sisi yang terluka pelan-pelan tergerus sakit
akibat memendam rasa sakit kemudan akhirnya pergi. Bahkan sisi yang berkhianat
tidak seperti yang dalam kisah-kisah di novel dan film, tidak sisi itu bahkan
pergi di hari berikutnya. Kejam? Seperti sinetron? Ini realita yang gadis itu
hadapi. Selesai? Belum ia masih melihat banyak sisi dari cinta.
Ia melihat yang namanya pengkhianatan cinta yang lain. Ia
melihat dan di jejali keburukan-keburukan dari tiap sisi. Yang satu berteriak
pengkhianat. Yang satu berteriak tidak beratnggung jawab. Aku kasian akan gadis
itu. Aku heran, para orang dewasa itu tidak memikirkan dampak dari apa yang
mereka perbuat. Mereka tidak tahu mereka merusak atau menggerogoti relung hati
gadis itu. Tetapi di tengah kondisi tersebut gadis itu masih memikirkan orang
lain, yaitu adiknya. Ia tidak ingin hati adiknya keras seperti dirinya. Ia
tidak ingin adiknya membentengi dirinya seperti yang ia lakukan, ia tidak ingin
adiknya terluka. Ia kakak yang baik. Ia ingin yang terbaik bagi adiknya. Baik?
Terlalu baik? Aku pikir gadis ini agak menyedihkan.
Ia susah untuk memberikan hatinya. Disaat ia mencoba
membukanya, orang yang ia inginkan adalah milik orang lain. Tidak, gadis itu
tidak berusaha merebut. Bahkan disaat ia bisa merebutnya ia teringat
pengalamanya. Bayang bayang itu. Ia tidak mau menjadi perusak hubungan. Ia
tidak mau menajdi orang ketiga. Ia tau sakit sisi yang terluka nantinya. Ia
membatasi dirinya. Ia mengaburkan perasaan.
Akan tetapi kali ini, terjadi untuk ketiga kalinya. Kisah
ketiga ini agak lain dari biasanya. Karena teman dari gadis ini ikut jatuh hati
pada lelaki itu. Padahal ia tahu temanya sendiri masih meladeni lelaki lain.
Luar biasa bukan? Gadis itu tidak membenci orang-orang yang menunjukkan
realitas di balik kata cinta. Sebagai gantinya gadis itu hilang kepercayaan
atas cinta.
Aku rasa gadis itu sangat menyedihkan. Aku tahu yang ia
butuhkan adalah seseorang yang bisa memeluknya atau setidaknya menggenggam
tanganya seraya menguatkannya. Ia hanya ingin melihat sisi lain dari kata cinta
seperti yang tertuang dalam kertas novel maupun dalam film.
No comments:
Post a Comment